MAKHUTARAMA
- Rama's Crown-
Lakon Makutharama menceritakan tentang wahyu istimewa yang akan menaungi pemiliknya dengan kemuliaan, keagungan dan kejayaan. Wahyu Makutharama ini mempunyai delapan perilaku (hasta brata) alam semesta yang patut diemban seorang pemimpin negeri. 1. Bumi: seperti bumi, kuat dan sentosa, dan mampu mewadahi semua kepentingan rakyat; 2. Api: panas dan tegas tanpa kompromi, terutama dalam memberikan kepastian hukum; 3. Air: memberikan semangat dan penghidupan bagi rakyat; 4. Angin: mampu memberikan rasa sejuk dan memberikan ketentraman kepada rakyat; 5. Cahaya bintang: mampu memberikan arahan bagi rakyat yang dipimpin; 6. Cahaya bulan: mampu memberikan pencerahan kepada rakyatnya walaupun dalam kegelapan; 7. Matahari: memberikan energi yang merata untuk seluruh rakyat; dan 8. Awan: di balik kegelapan mampu mencari jalan keluar dan, ibarat mendung, menurunkan hujan yang memberikan kehidupan kepada bumi dan rakyat. Di dalam lakon Makutharama, sebagaimana digariskan oleh para dewa, siapapun yang memiliki Wahyu Makutharama akan menjadi pemimpin kerajaan Hastinapura. Maka, oleh sebab itu, wahyu keprabon ini diperebutkan oleh pihak Pandawa dan Kurawa. |
The Javanese shadow play Makutharama tells a story that revolves around a special heavenly power (wahyu) capable of bestowing on its owner glory, honor, and power. This particular wahyu, known as Rama’s Crown (Makutharama) contains eight elements (hasta brata) of the natural world that serve as models for a country’s leader. 1. Earth: a leader must strong and prosperous, capable of fulfilling the people’s needs; 2. Fire: a leader must be uncompromising, especially in dispensation of justice; 3. Water: a leader must give spirit and life to his people; 4. Wind: a leader must promote a sense of well being for the people; 5. Starlight: a leader must provide direction for the people; 6. Moonlight: even in darkness, a good leader provides light for the people; 7. The Sun: a leader must give energy to the people; and 8. Clouds: behind every cloud, a solution can be found and from dark clouds spring rains that bring benefit to the earth and its people. In the shadow play Makutharama, because the gods have determined that whoever possesses Rama’s Crown will rule the kingdom of Hastinapura, the Pandawa brothers and their Kurawa cousins launch a struggle to obtain this heavenly power. |
Tentang BukuKetiga buku diatas ini adalah buku tentang lakon wayang ‘Makutharama’ yang diterbitkan oleh Yayasan Lontar http://www.lontar.org, sebagai salah satu upaya pendataan, pendokumentasian, penerbitan dan perekaman audio-audio visual tradisi wayang, sebuah adikarya tradisi lisan dan warisan budaya dunia.
Pertama kalinya dalam sejarah, buku ini diterbitkan dalam 3 bahasa sekaligus: bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Masing-masing dalam tiga ragam gaya pementasan wayang kulit, yakni pementasan gaya klasik, gaya garapan (tradisi yang dikembangkan/kontemporer), dan gaya padat (singkat). Khusus dalam buku terjemahan bahasa Inggris, disertakan pula catatan kaki untuk memperjelas berbagai acuan budaya, latar belakang sejarah, beberapa latar lelucon yang mungkin akan sulit dimengerti tanpa penjelasan tambahan. Dilampirkan pula terjemahan dari semua sulukan dan penggambaran singkat tentang tokoh-tokoh pewayangan. Di dalam pendahuluan buku versi bahasa Inggris, disampaikan sebuah studi perbandingan ketiga gaya pertunjukan tersebut yang meng-eksplorasi hubungan antara unsure-unsur wayang klasik, pengembangan gaya padat pada tahun 1970-an, dan penciptaan gaya garapan semalam pada tahun 1990-an. Secara keseluruhan, paket ini lengkap dengan buku, film, notasi musik, dan foto yang tersusun secara sistematis untuk mempermudah pengamatan, apresiasi, penghayatan dan pengertian terhadap praktik pementasan seni wayang kulit pada masa kini. |
About the BooksThe three books above are books about ‘Makutharama’ or Rama’s Crown, published by The Lontar Foundation http://www.lontar.org. These are an inventory of, publications and audio-visual recordings of the wayang tradition, a ‘masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity’.
For the first time, the books are being published in three different languages simultaneously; Javanese, Bahasa Indonesia and English. Each in the three major wayang performance styles; the classic (klasik) tradition, contemporary-interpretive (garapan) style, and the condensed and compact (padat) style. The English translation includes extensive endnotes which explain the complicated cultural references, historical background and obscure jokes. Other appendices include translations of all the sung poetry (sulukan) and short biographical sketches of the characters. A comparative study of the three styles preceding the translations explores the connections between elements of a classical wayang, the development of the padat style in the 1970’s and the creation of the all-night garapan style in the 1990’s. Altogether, this package consists of books, films, musical notations and photographs structured in a systematic way, so as to promote the greatest potential possible for appreciation, understanding, and analysis of current-day performances practices. |